Sejak 1924, hampir semua masyarakat kampung yang bernama Cireundeu ini mengkonsumsi singkong. Tak aneh apabila orang yang berkunjung kesana menyebut Cireundeu sebagai kampung singkong atau kampung ketela.
Selain terdapat sebuah patung singkong di dekat gerbang masuk, kampung yang disebut-sebut sebagai kampung adat ini juga dikelilingi oleh perkebunan singkong yang luasnya mencapai 20 Ha. Karena hal itulah, singkong menjadi sebuah ciri khas kampung yang terletak di Cimahi Selatan ini.
Saat orang-orang di kampung lain mengkonsumsi nasi sebagai makanan pokok, masyarakat adat kampung ini justru menjadikan singkong sebagai makanan pokok. Singkong yang diolah seperti nasi beras ini mereka sebut dengan nasi singkong.
Bagi masyarakat adat Cireundeu, nasi singkong tak ada bedanya dengan nasi beras. Sebagai hasil olahan dari rasi (beras singkong), nasi singkong mereka makan dengan lauk pauk ataupun sayuran-sayuran seperti halnya orang-orang yang makan nasi beras.
Menurut Asep Wardiman (47) dipercaya sebagai panitren di kampung ini, tak ada aturan yang mengikat untuk masyarakat adat yang hidup di tanah Cireundeu untuk makan nasi singkong. Tapi, mereka hidup dengan penuh kesadaran akan adat serta budaya yang telah diwariskan oleh nenek moyang. “Karena kesadaran akan budaya itulah, dengan sendirinya mereka terbiasa mengikuti aturan-aturan yang diwariskan oleh nenek moyang,” kata Asep.
Bagi mereka, nasi singkong justru memiliki kekuatan yang lebih dengan porsi makan yang sedikit. “Sedikit juga bisa mengenyangkan perut, dan kekuatan karbohidratnya lebih tahan lama di tubuh,” Tambah Asep.
Demi menjaga kebiasaan yang turun temurun itu, apabila bepergian ke luar daerah, mereka selalu membawa bekal rasi. Abah Asep yang merupakan pemilik perusahaan pengeboran CB Purnama Tekhnik mengaku bahwa ia dan keluarga belum pernah merasakan gimana rasanya nasi dari beras. Setiap bepergian ke luar kota, ia selalu dibekali rasi oleh isterinya.
Selain itu, para nonoman yang kuliah dan hidup ngekost di perkotaan, setiap mudik mereka tak akan pernah lupa untuk membawa rasi sebagai bekal. “Karena rasi pengolahannya hampir sama dengan beras yag ditanak menjadi nasi, setiap pulang sudah pasti saya membawa rasi untuk bekal di kostan,” ujar Dewi Lismiati (29) yang kuliah di Universitas Pasundan.
Pembauran Hidup Nyunda dan Modern
Jika sebagian masyarakat adat di kampung adat lainnya tertutup dengan perkembangan teknologi komunikasi, Cireundeu justru memiliki paradigma yang berbeda. Masyarakatnya memiliki prinsip Ngindung ka waktu, mibapa ka zaman dalam artian tetap mengikuti arus perkembangan zaman, khususnya perihal teknologi dan komunikasi.
Mereka sudah menggunakan handphone, televisi, kendaraan, bahkan rumahnya sudah permanen. Hal tersebut tak menjadi penghalang mereka untuk mempertahankan kearifan lokal, karena mereka sadar bahwa komunikasi serta informasi sangat penting bagi semua orang. “Kami tetap mengikuti perkembangan zaman dengan catatan tidak lupa akan budaya sendiri,” tambah abah Asep.
Sebuah bangunan Sekolah Dasar yang berdiri di antara kebun singkong dan rumah warga membuktikan bahwa masyarakat Cireundeu juga peduli akan pendidikan. Mereka tak mau anak cucunya tertinggal di ranah pendidikan. “Minimal anak cucu kami bisa tamat pendidikannya di Sekolah Dasar,” ujar Abah Emen.
Abah Emen (75) adalah sesepuh di kampung adat Cireundeu. Ia sangat peduli akan pendidikan anak-anak di lingkungan masyarakat adat karena beberapa tahun yang lalu ia pernah menjabat sebagai Kepala Sekolah.
Disebuah tempat sentral yang disebut bale saresehan, terdapat beberapa gamelan sunda yang digunakan untuk berinstrumen musik sunda oleh para nonoman (pemuda). Kreatifitas-kreatifitas para nonoman Cireundeu dalam hal memainkan alat musik sunda kadang diperlihatkan kepada para pengunjung.
“Kami akan berusaha ngamumule seni sunda karena jika bukan kita sebagai warga Sunda, siapa lagi yang akan menjaganya,” ujar Mira Sukma (37) yang akrab dipanggil Kang Going.
Di sekitar bale saresehan juga, ada sebuah prinsip hidup yang diterapkan oleh nenek moyang mereka. Prinsip hidup tersebut ditulis disebuah kayu hitam berbentuk papan tulis, tepat di saung pinggir bale saresehan. Menurut Going, tulisan tersebut menjadi salah satu daya tarik para pengunjung untuk bertanya lebih dalam soal Cireundeu.
Derry Afriansyah (19) seorang mahasiswa Unikom yang sedang berkunjung ke Cireundeu mengaku bahwa dia sangat bangga terhadap prinsip hidup, adat, serta budaya yang sangat melekat di kampung ini. “Masih terasa sekali kekentalan budaya di kampung ini, dan saya sangat bangga akan hal itu,” ujar Derry, Minggu (1/6).
“Teu boga pare asal boga beas, teu boga beas asal bisa nyangu, teu nyangu asal bisa dahar, teu dahar asal kuat”
Prinsip hidup masyarakat adat Cireundeu tersebut menjadi salah satu bukti bahwa mereka tak tergantung pada ketersediaan beras dari dulu. Bagi mereka, tidak punya padi asal punya beras, tidak punya beras asal bisa masak nasi, tidak masak nasi pun asal bisa makan, dan meskipun tidak makan asalkan kuat.
Sebenarnya, tahun 1918 masyarakat adat Cireundeu pernah menyimpan beras, karena nenek moyang mereka pun tak mengharamkan anak cucunya untuk menyimpan atau mengkonsumsi beras. Namun, sebelum mereka memilih nasi singkong sebagai makanan pokok, mereka mencoba mengkonsumsi jagung, ubi, singkong, dan kacang-kacangan hingga 1924.
Abah Widi (54) selaku ais pangampi di Kampung adat ini mengatakan bahwa manusia sebenarnya bisa hidup tanpa tergantung sama nasi beras. “Dan akhirnya setelah para leluhur mencoba makanan-makanan tersebut, mereka memilih singkong sebagai makanan pokok untuk keberlangsungan hidup anak cucunya mendatang,” ujar Abah Widi.
Berbicara soal gaya hidup masyarakat adat yang nyunda, ternyata keyakinan yang dianut oleh mereka pun ada hubungannya dengan sunda klasik. Masyarakat Cireundeu menganut kepercayaan sunda wiwitan yang telah diterapkan para pendahulu mereka. Mereka yakin bahwa sunda wiwitan adalah kepercayaan yang lahir pertama kalinya di tanah sunda.
Meskipun mereka memiliki cara yang berbeda dalam hal beribadah, tapi mereka yakin bahwa mereka tak akan keluar dari apa yang telah digariskan Tuhan. “Sunda wiwitan bagi kami adalah kepercayaan orang sunda asli, dan meskipun kepercayaan kami berbeda dengan orang lain, kami tak akan keluar dari apa yang telah ditakdirkan oleh Tuhan,” kata Abah Asep.
Masyarakat adat Cireundeu memiliki hari raya besar seperti halnya Islam dengan idul fitrinya. 1 Syura yang diambil dari penanggalan sunda, dijadikan sebagai hari besar bagi mereka. Di hari tersebut, mereka meluapkan rasa syukur terhadap limpahan rezeki yang diberikan Tuhan dengan cara pesta rakyat.
1 Syura juga dijadikan ajang sebagai silaturahmi dengan kampung adat lainnya. Mereka mengundang masyarakat adat kampung Naga, Baduy, Ciptagelar, serta yang lainnya. Selain itu, pemerintah setempat juga selalu menghadiri hari besar tersebut. “Para tamu undangan bisa menikmati makanan-makanan sebagai hasil dari perkebunan kami,” tambah Abah Asep.
Seperti halnya kampung Naga di Tasikmalaya, Cireundeu juga memiliki kepengurusan adat yang turun temurun. Ada tiga orang yang dijadikan panutan di kampung ini, yaitu Abah Emen sebagai sesepuh, Abah Widi sebagai ais pangampi, dan Abah Asep sebagai panitren.
Menjaga Ketahanan Pangan
Kampung Cireundeu terletak di Kota Cimahi, RW 10 Kelurahan Leuwigajah, Kecamatan Cimahi Selatan Jawa Barat. Dengan luas pemukiman 4 Ha, kampung yang disebut sebagai kampung singkong ini dihuni oleh 330 orang dari 70 kepala keluarga.
Dengan luas hutan 60 Ha, nenek moyang mereka membagi hutan tersebut ke dalam tiga kategori. Ketiga hutan itu yaitu, hutan larangan yang digunakan untuk konservasi resapan air, hutan baladahan untuk bercocok tanam dan hutan tutupan yang diyakini sebagai hutan cadangan air dan cadangan untuk bercocok tanam.
Selama ketiga hutan tersebut terjaga dengan baik, Abah Asep mengatakan bahwa masyarakat adat Cireundeu tidak akan kekurangan air sebagai sumber kehidupan maupun singkong sebagai sumber pangan bagi mereka.
Abah Asep menambahkan, dalam hal bercocok tanam pun mereka tidak sembarangan. Mereka tetap menjaga serta mengikuti aturan-aturan nenek moyang. “Kami akan selalu menjaga adat serta budaya berharga yang telah diwariskan oleh para leluhur, termasuk bertahan hidup tanpa nasi,” kata Asep.
Selain terikat oleh adat dan budayanya, ternyata lokasi kampung Cireundeu yang berada di pegunungan juga
menjadi sebuah alasan mereka tak mencoba pindah langkah untuk menanam padi dan mengkonsumsi nasi beras. “Kami sadar bahwa kami tinggal di pegunungan dan tidak cocok menanam padi, sehingga kami akan tetap bertahan menjaga swasembada singkong,” tambah Asep.
Kang Going mengatakan bahwa dengan luas hutan baladahan yang mencapai 20 Ha, masyarakat Cireundeu bisa mempertahankan hidup dalam jangka waktu yang panjang tanpa tergantung sama bantuan dari pemerintah. “Tanpa bantuan dari pemerintah, kami bisa bertahan hidup dengan 20 Ha kebun singkong itu,” ujar Going.
Saat ini, Cireundeu dikenal sebagai kampung yang berhasil menjaga ketahanan pangan. Mereka tak pernah kekurangan singkong, berbeda dengan petani-petani padi yang terkadang mengalami gagal panen hingga akhirnya harus membeli beras.
Dengan menjaga ketahanan pangan, mereka tak pernah merasa kekurangan bahkan tak pernah mengalami krisis pangan. Stok singkong yang mereka simpan, bisa menghasilkan makanan-makanan yang berbahan baku singkong seperti keripik bawang, eggroll, kembang goyang, sistick, dan yang membuat pengunjung tertarik yaitu dendeng kulit singkong.
Tepat di tahun 2005 saat terjadi longsor di TPA Leuwigajah, Cireundeu mulai dilirik sebagai kampung wisata budaya oleh segelintir orang. “Saat longsor TPA Leuwigajah terjadi, banyak orang yang singgah ke kampung ini, termasuk Pak Jusuf Kalla,” Ujar Abah Asep.
Setelah terjadi peristiwa TPA Leuwigajah, banyak mahasiswa yang melakukan observasi maupun Kuliah Kerja Nyata (KKN) di kampung Cireundeu. Fadli yang sedang kuliah di Universitas Pendidikan Indonesia mengatakan bahwa ia berkunjung ke Cireundeu karena tertarik dengan kearifan lokalnya. “Sebelum observasi ke kampung adat Cireundeu, saya dan teman-teman membaca sekilas informasi-informasi di internet, hingga akhirnya tertarik dengan nilai budayanya,” ujar Fadli.
Dengan mempertahankan ketahanan pangan juga, secara otomatis masyarakat adat Cireundeu juga telah menjaga swasembada singkong. Prinsip-prinsip hidup mereka dinilai menarik oleh para pengunjung yang menyaksikan kehidupan mereka secara langsung.
Karena ketahanan pangannya, Menteri Pertanian Republik Indonesia memberikan piagam penghargaan ketahanan pangan pada tahun 2008. “Selain piagam dari pak menteri pertanian, di bale saresehan juga terdapat piagam-piagam penghargaan lainnya yang diberikan oleh pemerintah maupun mahasiswa-mahasiswa yang berkunjung kesini,” Kata Asep.
“Semua penghargaan itu tak lain karena sebakul rasi yang menjadi identitas masyarakat adat Cireundeu, dan kami bangga akan hal itu,” tambah sAsep.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar